Sejarah Sholat Jum'at
"Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, masuk dan keluar dari syurga dan hari kiamat hanya akan terjadi pada hari Jum'at."
Demikianlah secara singkat uraian pendapat para ulama, dan yang rajih
adalah pendapat kedua, yaitu waktu shalat Jum'at adalah waktu Dhuhur,
dan sah bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, sebagaimana
dirajihkan Imam Asy Syaukani dan Syaikh Al Albani.
Permulaan sejarah shalat Jum'at pertama kali adalah ketika muncul
perintah dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad, ketika beliau masih berada
di kota Mekkah dan sedang dalam persiapan untuk melakukan hijrah atau
perjalanan ke kota Madinnah.Dinukil dari Fiqih Islami wa Adillatuhu,
disebutkan bahwa shalat Jum'ah sudah
diwajibkan ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berada di Makkah, sebelum terjadi Hijrah. Seperti yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anh:
diwajibkan ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berada di Makkah, sebelum terjadi Hijrah. Seperti yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anh:
“Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam diizinkan untuk melaksanakan Shalat Jum'at
sebelum melaksanakan Hijrah. Akan tetapi, kaum Muslimin tidak bisa
berkumpul di Makkah, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menulis
surat kepada Mush'ab bin Umair yang berada di Madinah: 'Amma ba'du,
perhatikanlah pada hari ketika orang-orang Yahudi mengumumkan untuk
membaca kitab Zabur di hari Sabath-nya! Kumpulkanlah wanita-wanita dan
anak-anak kalian! Jika siang telah condong separuhnya, di tengah siang
hari Jum'at, mendekatlah kepada Allah dengan dua raka'at.
Pada masa itu masih terjadi sengketa dengan kaum Quraisy (yang belum
mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah Rosulullah), maka perintah tersebut
tidak bisa dilakukan.
Sebab sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bila salah satu syarat
sahnya pelaksanaan shalat Jum'at adalah harus dilakukan dengan
berjamaah. Padahal ketika itu sangat sulit untuk mengumpulkan umat Islam
secara bersama-sama di satu tempat dan pada waktu yang sama pula dalam
keadaan yang tidak aman.
Namun, meski tidak bisa melaksanakan shalat Jum'at, Nabi Muhammad masih
sempat mengutus salah seorang sahabatnya yang bernama Mush’ah bin Umair
bin Hasyim yang tinggal di kota Madinnah, agar dia mengajarkan Al-Qur'an
pada penduduk kota itu. Pada saat inilah sejarah shalat Jum'at dimulai.
Karena selain mengajarkan Al-Qur'an, sahabat setia Nabi tersebut juga
meminta ijin pada beliau untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jum'at.
Dan, Rasul dengan senang hati mengijinkannya. Jadi, Mush'ah bin Umair
bin Hasyim adalah orang yang pertama kali melakukan ibadah ini.
Sementara, Nabi Muhammad sendiri baru bisa melakukan shalat Jum'at,
ketika dia sudah berada di kota Madinnah. Pada waktu itu, beliau ada di
suatu daerah yang bernama Quba' dan menemui sahabat dekatnya yang lain
yang bernama Bani 'Amr bin 'Auf. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin
pada 12 bulan Rabi'ul Awwal.
Kemudian tiga hari sesudahnya, yaitu hari Kamis, Nabi mendirikan sebuah
masjid. Mesjid yang pertama didirikan oleh Nabi adalah Mesjid Quba.
Keesokannya, pada hari Jum'at, Nabi Muhammad bertemu lagi dengan
sahabatnya itu di kota Madinnah yang akan mengadakan shalat Jum'at di
sebuah lembah yang telah dijadikan masjid dan tempatnya tidak begitu
jauh dari mereka berdua.
Mengetahui hal tersebut, maka Nabi Muhammad memutuskan untuk ikut
melakukan shalat Jum'at sekaligus berkhutbah sebelum pelaksanaan shalat.
Inilah khutbah pertama yang dilakukan oleh Rasul, ketika berada di kota
Madinnah. Begitulah sekilas sejarah shalat Jum'at menurut catatan dan
bukti-bukti yang ada.
Jum'at pertama yang dilakukan Rasul SAW adalah di Wadi Ranuna, sekitar
satu kilometer dari Masjid Quba, atau kurang lebih empat kilometer dari
Madinah al-Munawwarah. Di sana kini berdiri sebuah masjid yang diberi
nama Masjid Jum'at.
Tentu saja, dalam shalat Jum'at itu diselenggarakan khutbah Jum'at yang
disampaikan Rasul SAW kepada kaum Muslim. Apa isi khutbah Rasul SAW pada
saat itu? Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya Al-Amakin al-Masyhurah Fi
Hayati Muhammad (Tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi Rasul SAW),
isi khutbah itu adalah sebagai berikut;
"Segala puji bagi Allah, kepada-Nya aku memohon pertolongan, ampunan,
dan petunjuk. Aku beriman kepada Allah dan tidak kufur kepada-Nya. Aku
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan
Allah. Dia telah mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar,
dengan cahaya dan pelajaran, setelah lama tidak ada rasul yang diutus,
minimnyua ilmu, dan banyaknya kesesatan pada manusia di kala zaman
menjelang akhir dan ajal kian dekat.
Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah
mendapatkan petunjuk. Dan, barang siapa yang bermaksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah melampaui batas dan tersesat dengan
kesesatan yang sangat jauh.
Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah. Itulah wasiat
terbaik bagi seorang Muslim. Dan, seorang Muslim hendaknya selalu ingat
akhirat dan menyeru kepada ketakwaan kepada Allah.
Berhati-hatilah terhadap yang diperingatkan Allah. Sebab, itulah
peringatan yang tiada tandingannya. Sesungguhnya ketakwaan kepada Allah
yang dilaksanakan karena takut kepada-Nya, ia akan memperoleh
pertolongan Allah atas segala urusan akhirat.
"Barang siapa yang selalu memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah,
baik di kala sendiri maupun di tengah keramaian, dan ia melakukan itu
tidak lain kecuali hanya mengharapkan rida Allah, maka baginya
kesuksesan di dunia dan tabungan pahala setelah mati, yaitu ketika
setiap orang membutuhkan balasan atas apa yang telah dilakukannya. Dan,
jika ia tidak melakukan semua itu, pastilah ia berharap agar masanya
menjadi lebih panjang. Allah memperingatkan kamu akan siksa-Nya. dan
Allah Mahasayang kepada hamba-hamba-Nya." (QS Ali Imran [3]: 30).
Dialah Zat yang benar firman-Nya, melaksanakan janji-Nya, dan semua itu
tidak pernah teringkari. Allah berfirman, "Keputusan di sisi-Ku tidak
dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku." (QS
Qaf [50]: 29).
Karenanya, bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan sekarang maupun
yang akan datang, dalam kerahasiaan maupun terang-terangan.
"Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala
baginya." (QS At-Thalaq [65]: 5). "Barang siapa bertakwa kepada Allah,
sungguh ia telah memperoleh kemenangan yang besar." (QS Al-Ahzab [33]:
71).
Sesungguhnya ketakwaan kepada Allah menghindarkan dari kemarahan,
hukuman, dan murka-Nya. Takwa kepada Allah akan membuat wajah bersinar
terang, membuat Allah rida, dan meninggikan derajat. Lakukanlah dengan
sepenuh kemampuan kalian, dan jangan sampai kurang di sisi Allah.
Dia telah mengajarkan kepada kalian dalam kitab-Nya dan membentangkan
jalan-Nya, untuk mengetahui siapa yang benar dan untuk mengetahui siapa
yang dusta. (QS Al-Ankabut [29]: 3).
Maka, berbuat baiklah, sebagaimana Dia berbuat baik kepada kalian, dan
musuhilah musuh-musuh-Nya. Berjihadlah di jalan Allah dengan
sebenar-benarnya jihad. Dia telah memilih dan menamakan kalian sebagai
Muslim. (QS Al-Hajj [22]: 78). Agar orang yang binasa itu binasanya
dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya
dengan keterangan yang nyata. (QS Al-Anfal [8]: 42).
Tiada daya upaya, kecuali hanya dengan kekuatan Allah. Karenanya,
perbanyaklah mengingat Allah, dan beramallah untuk kehidupan setelah
mati. Sesungguhnya orang yang membangun hubungan baik dengan Allah,
Allah pun akan membuat baik hubungan orang itu dengan manusia lainnya.
Karena Allah yang memberi ketetapan kepada manusia, sedang manusia tidak
mampu memberi ketetapan kepada-Nya. Dia menguasai manusia, sedang
manusia tidak bisa menguasai-Nya. Allah itu Maha Agung. Tiada daya dan
kekuatan selain dengan kekuatan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung."
Demikianlah isi khutbah Rasul SAW sebagaimana disebutkan dalam Tarikh
Thabari, Tafsir al-Qurthubi, Subul al-Huda wa ar-Rasyad, dan Al-Bayan
al-Muhammadi karya Dr Mustafa Asy-Sya'kah.
Asy-Sya'kah menegaskan bahwa khutbah diatas merupakan khutbah Rasul SAW
saat shalat Jum'at pertama di Wadi Ranuna. Penjelasan ini juga diperkuat
dengan keterangan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.
Wallahu A'lam.
Dasar Hukum Sholat Jum'at
Hari Jum'at merupakan hari yang penting bagi kaum muslimin. Hari yang
memiliki kekhususan dan keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain.
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul pada hari itu untuk
menunaikan ibadah shalat di masjid tempat berkumpulnya penduduk. Disana
kaum muslimin saling berkumpul dan bersatu, sehingga dapat terbentuk
ikatan kecintaan, persaudaraan dan persatuan.
Demikianlah Rasulullah khabarkan dalam hadits-hadits Beliau, diantaranya:
خَيْرُ
يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ
آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ
السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ
"Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, masuk dan keluar dari syurga dan hari kiamat hanya akan terjadi pada hari Jum'at."
Pada hari Jum'at, Allah mensyari’atkan shalat Jum'at, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ
لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui" [Al Jum'ah : 9].
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung". [Al Jum'ah : 10].
وَإِذَا
رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
ۚ قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚ
وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada
permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki". [Al
Jum'ah : 11].
Hukum shalat Jum'at adalah wajib dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ
لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui." [Al Jum'ah:9]
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menunaikannya, padahal perintah
-dalam istilah ushul fiqh- menunjukkan kewajiban. Demikian juga
larangan sibuk berjual beli setelah ada panggilan shalat, menunjukkan
kewajibannya; sebab seandainya bukan karena wajib, tentu hal itu tidak
dilarang.
Sedangkan dalil dari Sunnah, ialah sabda Rasulullah:
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
"Hendaklah satu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum'at, atau
kalau tidak, maka Allah akan mencap hati-hati mereka, kemudian
menjadikannya termasuk orang yang lalai."
Hal ini dikuatkan lagi dengan kesepakatan (Ijma') kaum muslimin atas
kewajibannya, sebagaimana hal itu dinukil para ulama, diantaranya: Ibnu
Al Mundzir , Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah.
Yang Diwajiblan Sholat Jum'at
Syaikh Al Albani berkata,”Shalat Jum'at wajib atas setiap mukallaf,
wajib atas setiap orang yang baligh, berdasarkan dalil-dalil tegas yang
menunjukkan shalat Jum'at wajib atas setiap mukallaf dan dengan ancaman
keras bagi meninggalkannya.”
Shalat Jum'at diwajibkan kepada setiap muslim, kecuali yang memiliki
udzur syar'i, seperti: budak belian, wanita, anak-anak, orang sakit dan
musafir, berdasarkan hadits Thariq bin Syihab dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً
عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
"Shalat Jum'at wajib bagi setiap muslim dalam berjama'h, kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit" .
Sedangkan tentang hukum musafir, para ulama masih berselisih sebagai
orang yang tidak diwajibkan shalat Jum'at, dalam dua pendapat, yaitu:
Pertama : Musafir tidak diwajibkan shalat Jum'at. Demikian ini pendapat
jumhur Ulama , dengan dasar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam seluruh safarnya tidak pernah melakukan shalat jum'at,
padahal bersamanya sejumlah sahabat Beliau. Hal ini dikuatkan dengan
kisah haji wada', sebagaimana disampaikan oleh Jabir bin Abdillah dalam
hadits yang panjang.
فَأَتَى
بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ ......ثُمَّ أَذَّنَ بِلا َلٌ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ
يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
"Lalu beliau mendatangi Wadi dan berkhutbah…Kemudian Bilal beradzan,
kemudian iqamah dan shalat Dhuhur, kemudian iqamah dan shalat Ashar, dan
tidak shalat sunnah diantara keduanya…
Kedua. Wajib melakukan shalat Jum'at. Demikian ini pendapat madzhab
Dzahiriyah, Az Zuhri dan An Nakha'i. Mereka berdalil dengan keumuman
ayat dan hadits yang mewajibkan shalat Jum'at dan menyatakan, tidak ada
satupun dalil shahih yang mengkhususkannya hanya untuk muqim.
Dari kedua pendapat tersebut, maka yang rajih adalah pendapat pertama,
dikarenakan kekuatan dalil yang ada. Pendapat inilah yang dirajihkan
Ibnu Taimiyah, sehingga setelah menyampaikan perselisihan para ulama
tentang kewajiban shalat Jum'at dan 'Id bagi musafir, ia berkata,”Yang
jelas benar adalah pendapat pertama. Bahwa hal tersebut tidak
disyari'atkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah bepergian dalam banyak safar, telah berumrah tiga kali
selain umrah ketika hajinya dan berhaji haji wada' bersama ribuan orang,
serta telah berperang lebih dari dua puluh peperangan, namun belum ada
seorangpun yang menukilkan bahwa Beliau melakukan shalat Jum'at, dan
tidak pula shalat 'Id dalam safar tersebut; bahkan Beliau shalat dua
raka'at saja dalam seluruh perjalanan (safar)nya.”Demikian juga,
pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin.
Demikian juga orang yang memiliki udzur yang dibenarkan syar'i, termasuk orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum'at.
Orang yang mendapat udzur, tidak wajib shalat Jum'at, tetapi wajib
menunaikan shalat Dhuhur, bila termasuk mukallaf. Karena asal perintah
hari Jum'at adalah shalat Dhuhur, kemudian disyari'atkan shalat Jum'at
kepada setiap muslim yang mukallaf dan tidak memiliki udzur, sehingga
mereka yang tidak diwajibkan shalat Jum'at masih memiliki kewajiban
shalat Dhuhur.
Waktu Sholat Jum'at
Waktu shalat Jum'at dimulai dari tergelincir matahari sampai akhir waktu
shalat Dhuhur. Inilah waktu yang disepakati para ulama, sedangkan bila
dilakukan sebelum tergelincir matahari, maka para ulama berselisih dalam
dua pendapat.
Pertama : Tidak sah. Demikian pendapat jumhur Ulama dengan argumen sebagai berikut:
- Hadits Anas bin Malik, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ
" Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum'at ketika matahari condong (tergelincir)."
- Hadits Samahin Al Aqwa', ia berkata:
كُنَّا
نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika
tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk
berlindung dari panas)."
Inilah yang dikenal dari para salaf, sebagaimana dinyatakan Imam Asy
Syafi'i : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , Abu Bakar, Umar, Utsman
dan para imam setelah mereka, shalat setiap Jum'at setelah tergelincir
matahari”.
Kedua : Sah, shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Ishaq, dengan argumen sebagai berikut:
- Hadits saamah in Al Aqwa', ia berkata:
كُنَّا
نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ
"Kami shalat Jum'at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam jika
tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk
berlindung dari panas)."
- Hadits Sahl bin Sa'ad, ia berkata:
مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ
"Kami tidak tidur dan makan siang, kecuali setelah Jum'at."
Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan lafadz :
فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Pendapat ini menyatakan, bahwa makan dan tidur siang dalam adat bangsa
Arab dahulu, dilakukan sebelum tergelincir matahari, sebagaimana
dinyatakan Ibnu Qutaibah . Demikian juga Rasulullah berkhutbah dua
khutbah, kemudian diriwayatkan membaca surat Qaf, atau dalam riwayat
lain surat Al Furqan, atau dalam riwayat lain surat Al Jumu'ah dan Al
Munafiqun. Seandainya Beliau hanya shalat Jum'at setelah tergelincir
matahari, maka ketika selesai, orang akan mendapatkan bayangan benda
untuk bernaung dari panas matahari dan telah keluar dari waktu makan dan
tidur siang.
- Hadits Jabir bin Abdillah ketika ia ditanya:
مَتَى
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا
فَنُرِيحُهَا حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ
"Kapan Rasulullah shalat Jum'at, ia menjawab,”Beliau shalat Jum'at,
kemudian kami kembali ke onta-onta kami, lalu menungganginya ketika
matahari tergelincir.
Syaikh Al Albani berkata,”Ini jelas menunjukkan, bahwa shalat Jum'at dilakukan sebelum tergelincir matahari.”
0 komentar:
Posting Komentar