Di
dunia pendidikan, saya menganalogikan mutiara adalah sekolah unggulan.
Disebut sekolah unggulan karena memiliki beragam pembeda dibandingkan
sekolah-sekolah keumuman. Nilai unggul itu dapat didasarkan prestasi
akademik dan nonakademik. Prestasi akademik dapat ditunjukkan melalui out put
atau lulusan. Prestasi lulusan tergambar pada keberhasilan pencapaian
alumni ke sekolah atau lapangan kerja favorit. Kualitas nonakademik
tergambar pada beragam fasilitas yang dimiliki, seperti tenaga pengajar,
ruang kelas, laboratorium dan lain-lain. Jika kedua komponen tersebut
terpenuhi, tak salahlah jika sekolah tersebut layak mendapat predikat
sekolah unggulan.
Namun,
kini sekolah unggulan tak lagi menjadi pilihan. Setidak-tidaknya itu
tergambar di daerahku. Orang tua dan siswa mulai kurang tertarik kepada
sekolah unggulan. Ada pergeseran pemikiran tentang pola pikir atas makna
sekolah. Terlebih, beberapa sekolah terindikasi bermain “gila-gilaan”
untuk mencari siswa. Maka, beginilah jadinya. Lalu, apa indikasi bermain
gila-gilaan itu?
Mencuri Start
Jauh
sebelum dilaksanakannya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB),
sekolah-sekolah tertentu sudah mulai mencuri start untuk mendapatkan
calon siswa. Beragam kampanye dilakukan, seperti kunjungan ke
sekolah-sekolah target, penyebaran brosur, pemasangan baliho dan
lain-lain. Tak ayal kondisi itu sering menyebabkan keretakan hubungan
antarsekolah sejenjang. Dan ketidakharmonisan ini menular kepada
hubungan antarguru dan antarmurid.
Pemberian Hadiah
Kebetulan saya masih menyimpan beberapa brosur. Ada beberapa sekolah yang memberikan beberapa hadiah sebagai iming-iming
kepada calon siswa agar tertarik mendaftarkan diri ke sekolah tersebut.
Hadiah itu beragam bentuknya, seperti tas, sepatu, buku, uang, sepeda,
jemputan dan lain-lain. Saya tak habis pikir, bagaimana sekolah itu
mendapatkan duit begitu banyak sedangkan dana BOS berjumlah terbatas?
Usut diusut, ternyata uang-uang itu berasal dari iuran guru
bersertifikat agar para guru mendapatkan jumlah jam mengajar sebagai
persyaratan mendapatkan tunjangan profesi, yakni 24 jam per minggu.
Melibatkan Makelar
Saya
menyebut makelar karena ia bekerja berdasarkan prinsip-prinsip makelar,
yaitu mencari barang dagangan untuk mendapatkan upah. Makelar-makelar
siswa ini bekerja merayu para murid, guru, kepala sekolah, orang tua,
dan masyarakat umum agar sekolahnya dijadikan pilihan utama. Agar para
makelar itu bekerja sungguh-sungguh, sekolah-sekolah itu memberikan
upah. Ada sekolah yang memberikan upah Rp10.000, Rp50.000, bahkan
Rp100.000 per calon siswa baru. Indikasi keberhasilan calon siswa itu
adalah didapatkannya akta kelahiran calon siswa karena syarat utama
calon siswa setelah lulus adalah menyerahkan akta kelahiran asli kepada
sekolah tujuan.
Di
sinilah terjadi korban sekolah-sekolah unggulan. Banyak sekolah
unggulan tercecer karena kalah bersaing dengan sekolah biasa. Terkhusus
sekolah negeri, kepala sekolah dan para guru dibuat geleng-geleng kepala
dengan segala kondisi tersebut. Hal ini disebabkan peraturan sekolah
negeri yang tidak boleh menggunakan peraturan-peraturan sendiri. Untuk
segala bentuk pengelolaan sekolah, sekolah negeri sangat dibatasi
beragam peraturan. Semua pelaksanaan PPDB harus berdasarkan petunjuk
dinas. Dan kondisi itu berakibat terjadinya kekurangan murid di
sekolah-sekolah negeri. Meskipun memiliki beragam fasilitas di atas,
sekolah negeri kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lain. Saya menyebut
kekalahan itu akibat permainan “gila” dalam mencari siswa.
0 komentar:
Posting Komentar