About

MTs Al Isthakhariyyah Pamalayan

Sabtu, 28 Februari 2015

Cara Gila Mendapatkan Peserta Didik


Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
Mutiara terpendam di dasar laut pun akan dicari karena memiliki nilai yang teramat mahal. Meskipun harus mengeluarkan pengorbanan yang tidak sedikit, tak sedikit orang berduyun-duyun mencarinya. Kelak pengorbanan itu akan terbayar lunas manakala mutiara itu ditemukan. Senyum mengembang menjadi pertanda kepuasan. Dan itu pula yang harusnya dilakukan kebanyakan orang tua dan murid saat ini. Lalu, apa hubungannya?
Di dunia pendidikan, saya menganalogikan mutiara adalah sekolah unggulan. Disebut sekolah unggulan karena memiliki beragam pembeda dibandingkan sekolah-sekolah keumuman. Nilai unggul itu dapat didasarkan prestasi akademik dan nonakademik. Prestasi akademik dapat ditunjukkan melalui out put atau lulusan. Prestasi lulusan tergambar pada keberhasilan pencapaian alumni ke sekolah atau lapangan kerja favorit. Kualitas nonakademik tergambar pada beragam fasilitas yang dimiliki, seperti tenaga pengajar, ruang kelas, laboratorium dan lain-lain. Jika kedua komponen tersebut terpenuhi, tak salahlah jika sekolah tersebut layak mendapat predikat sekolah unggulan.
Namun, kini sekolah unggulan tak lagi menjadi pilihan. Setidak-tidaknya itu tergambar di daerahku. Orang tua dan siswa mulai kurang tertarik kepada sekolah unggulan. Ada pergeseran pemikiran tentang pola pikir atas makna sekolah. Terlebih, beberapa sekolah terindikasi bermain “gila-gilaan” untuk mencari siswa. Maka, beginilah jadinya. Lalu, apa indikasi bermain gila-gilaan itu?
Mencuri Start
Jauh sebelum dilaksanakannya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sekolah-sekolah tertentu sudah mulai mencuri start untuk mendapatkan calon siswa. Beragam kampanye dilakukan, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah target, penyebaran brosur, pemasangan baliho dan lain-lain. Tak ayal kondisi itu sering menyebabkan keretakan hubungan antarsekolah sejenjang. Dan ketidakharmonisan ini menular kepada hubungan antarguru dan antarmurid.
Pemberian Hadiah
Kebetulan saya masih menyimpan beberapa brosur. Ada beberapa sekolah yang memberikan beberapa hadiah sebagai iming-iming kepada calon siswa agar tertarik mendaftarkan diri ke sekolah tersebut. Hadiah itu beragam bentuknya, seperti tas, sepatu, buku, uang, sepeda, jemputan dan lain-lain. Saya tak habis pikir, bagaimana sekolah itu mendapatkan duit begitu banyak sedangkan dana BOS berjumlah terbatas? Usut diusut, ternyata uang-uang itu berasal dari iuran guru bersertifikat agar para guru mendapatkan jumlah jam mengajar sebagai persyaratan mendapatkan tunjangan profesi, yakni 24 jam per minggu.
Melibatkan Makelar
Saya menyebut makelar karena ia bekerja berdasarkan prinsip-prinsip makelar, yaitu mencari barang dagangan untuk mendapatkan upah. Makelar-makelar siswa ini bekerja merayu para murid, guru, kepala sekolah, orang tua, dan masyarakat umum agar sekolahnya dijadikan pilihan utama. Agar para makelar itu bekerja sungguh-sungguh, sekolah-sekolah itu memberikan upah. Ada sekolah yang memberikan upah Rp10.000, Rp50.000, bahkan Rp100.000 per calon siswa baru. Indikasi keberhasilan calon siswa itu adalah didapatkannya akta kelahiran calon siswa karena syarat utama calon siswa setelah lulus adalah menyerahkan akta kelahiran asli kepada sekolah tujuan.
Di sinilah terjadi korban sekolah-sekolah unggulan. Banyak sekolah unggulan tercecer karena kalah bersaing dengan sekolah biasa. Terkhusus sekolah negeri, kepala sekolah dan para guru dibuat geleng-geleng kepala dengan segala kondisi tersebut. Hal ini disebabkan peraturan sekolah negeri yang tidak boleh menggunakan peraturan-peraturan sendiri. Untuk segala bentuk pengelolaan sekolah, sekolah negeri sangat dibatasi beragam peraturan. Semua pelaksanaan PPDB harus berdasarkan petunjuk dinas. Dan kondisi itu berakibat terjadinya kekurangan murid di sekolah-sekolah negeri. Meskipun memiliki beragam fasilitas di atas, sekolah negeri kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lain. Saya menyebut kekalahan itu akibat permainan “gila” dalam mencari siswa.

0 komentar:

Posting Komentar