Siapakah
Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang
pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan
pemerintahan Bani Fatimiyah?
Jawaban Global
Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai
Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa
Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan
penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah
Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
Buntut dari pengepungan Kairo yang dilakukan oleh orang-orang Kristen,
Asaduddin Syirkuh paman Salahuddin beserta enam ribu pasukan dikirim ke
Mesir dan Salahuddin al-Ayyubi juga termasuk dari pasukan tersebut.
Dengan datangnya Salahuddin, orang-orang Kristen angkat kaki dari Mesir
dan demikianlah bagaimana proses kedatangan orang-orang Ayyub di Mesir.
Asaduddin Syirkuh wafat setelah dua bulan kedatangannya di Mesir dan
Salahuddin al-Ayyubi mengambil alih posisinya sebagai panglima dan
gubernur Mesir. Konsekuensi pengalihan kekuasaan ini, membuat pengaruh
dan kekuasaan Khalifah Bani Fatimiyah semakin berkurang dan yang tersisa
hanyalah namanya saja sebagai penguasa. Hingga beberapa tahun
setelahnya, Salahuddin pada khutbah-khutbahnya menggantikan nama
Khalifah Abbasiyah sebagai ganti nama Khalifah Fatimiyah dan demikianlah
pemerintahan Bani Fatimiyah di Mesir menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintahan Ayyubi.
Salahuddin sangat menentang orang-orang Syiah Mesir dan dengan
menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syiah, ia berusaha
memberangus Syiah hingga ke akar-akarnya. Ia terkadang bersikap toleran
dengan orang-orang Kristen namun bersikap tegas dan keras dalam
menghadapi orang-orang Syiah. Salahuddin berusaha keras menyebarkan
fikih Syafi'i dan menyebarluaskan mazhab Syafi'I sebagai ganti mazhab
Syiah Ismaliyyah.
Popularitas Salahuddin intinya berpulang pada kiprahnya pada pelbagai
peperangan Salib. Salahuddin banyak mencetak orang-orang hebat di
pelbagai kota dan menguatkan pondasi-pondasi pemerintahannya sehingga
orang-orang Eropa tidak mampu berbuat macam-macam. Dari sisi lain, ia
menyerang kota-kota yang diduduki oleh orang-orang Eropa dan menaklukkan
kota-kota tersebut serta menangkapi orang-orang Eropa atau mengusir
mereka dari kota-kota tersebut.
Salahuddin banyak menduduki kota-kota dalam tempo kurang dari lima
tahun. Namun puncaknya adalah penaklukan Baitul Muqaddas. Salahuddin
dengan penaklukkan Baitul Muqaddas dari tangan orang-orang Kristen mampu
mencetak dirinya sebagai orang terkenal pada dunia Islam.
Jawaban Detil
Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi[1]
yang kemudian setelah itu terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi
(orang-orang Eropa menyebutnya sebagai Saladin), merupakan salah seorang
adalah salah seorang panglima perang dan jenderal dalam sejarah Islam.
Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal
batas wilayah-wilayah Islam di hadapan agresi orang-orang Kristen Eropa
yang akan kita bahas bersama pada kesempatan ini.
Najmuddin Ayyub adalah ayah raja-raja Ayyub yang hidup di Tikrit dan Salahuddin Ayyubi juga lahir di kota tersebut.[2] Ia tinggal di kota ini suku Kurdi ini dan keluarga Ayyubi adalah termasuk sebagai salah satu kaum pada suku Kurdi.[3]
Namun karena dominasi bangsa Arab pada masa itu sehingga mereka kurang
dikenal sebagai suku Kurdi. Hal ini disebabkan oleh karena pada masa itu
bangsa-bangsa selain Arab sebagai bangsa khusus yang memiliki
kekuasaan.
Najmuddin Ayyub hidup pada masa Imaduddin Zanggi penguasa kota Balbak (Ba'labak, Libanon Selatan).[4]
Salahuddin semenjak kecil sangat gemar mempelajari strategi dan teknik
berperang, khususnya bermain pedang dan berperang dengan pisau. Pada
akhirnya Salahuddin menguasai seni berperang ini. Kemungkinan besar,
Salahuddin telah mengenal fikih Syaf'i semenjak masa kecilnya; mazhab
fikih yang kelak ia usahakan penyebarannya.[5]
Salahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi'i.
Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Salahuddin berusaha keras
untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi
menggantikan mazhab Syiah yang akan kami jelaskan nantinya.[6]
Masuknya Salahuddin ke Mesir dan Akhir Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Orang-orang Kristen pada awal-awal tahun perang Salib mampu menaklukkan
banyak daerah yang didiami oleh masyarakat Muslim dan penaklukan ini
telah banyak memompa semangat mereka sehingga tertanam keinginan untuk
menaklukkan Kairo, ibu kota pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pasukan besar orang-orang Kristen bergerak ke arah kota Kairo dan
merebut, merampas dan membunuh orang-orang yang tinggal daerah-daerah
yang terdapat dalam lintasan perjalanan menuju Kairo di antaranya kota
besar Belbeis (Mesir).[7]
Pada akhirnya mereka sampai di Kairo dan mengepung kota Kairo. Namun
warga kota Kairo yang merasa takut jangan-jangan Faranggi memperlakukan
orang-orang di Kairo sebagaimana apa mereka lakukan di Bilibis bangkit
mengusung perlawanan membela kota mereka.
Al-'Adhid yang merupakan Khalifah Bani Fatimiyyah memerintah di tempat
itu meminta bantuan dari pemerintahan Bani Abbasiyah. Ia meminta kepada
pemerintahan Abbasiyah untuk mengirim bala tentara untuk berperang
dengan pasukan orang-orang Kristen. Al-'Adhid mengetahui dengan baik
bahwa tanpa bantuan, ia tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi
orang-orang Barat. Karena itu ia memutuskan supaya Asaduddin Syirkuh
panglima besar dan paman Salahuddin untuk memimpin pasukannya menuju
Kairo.
"Asaduddin dengan
enam ribu bala tentara bergerak menuju Mesir dan sebelum bergerak, ia
memenuhi segala kebutuhan bala tentaranya. Ia memberikan dua puluh Dinar
kepada setiap prajuritnya. Terdapat sekelompok orang juga yang
berkhidmat kepadanya dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub bersama ayahnya
Ayyub saudara Syirkah ikut serta bersamanya. Setelah bala tentara
tersebut mendekat ke Kairo, Eropa menarik pasukannya dan kembali ke
kotanya. Syirkuh pada pertengahan tahun tersebut memasuki kota Kairo.
Al-'Adhid Lidinillah Khalifah Bani Fatimiyyah memberikan penghargaan
kepadanya dan ia dan bala tentaranya ditempatkan pada satu tempat yang
khusus."[8]
Asaduddin setelah beberapa memasuki Kairo mampu membunuh Perdana
Menteri Khalifah, Syawar dibantu oleh para jenderalnya dan sesuai dengan
permintaan al-'Adhid sendiri. Syawar sebelumnya adalah panglima yang
berkuasa dan memerintah pada batasan tertentu di Mesir."[9]
Dengan kematian Syawar, Asaduddin telah menjadi orang yang sangat
penting di Kairo. Praktis, dengan pengaruh ini, Al-'Adhid hanya
mengemban nama sebagai khalifah saja. Namun setelah menaklukkan Kairo,
Asaduddin tidak berumur panjang dan ia meninggal dunia dua bulan setelah
itu.[10]
Setelah Asaduddin, orang-orang berbeda pendapat tentang siapa yang
layak menggantikannya sebagai panglima, hingga sesuai dengan permintaan
Khalifah Bani Fatimiyyah dan sebagian jenderal, mengangkat Salahuddin
Yusuf bin Ayyub sebagai penggantinya dan demikianlah pemerintahan
Salahuddin bermula di Mesir.
Setelah Salahuddin naik takhta, tidak tersisa bagin Al-'Adhid kekuasaan
kecuali nama saja sebagai khalifah. Ia sama sekali tidak memiliki peran
dalam urusan pemerintahan hingga ia jatuh sakit dan ditarik dari
pemerintahan yang akan kita bahas pada bagian pemerintahan Bani
Fatimiyyah.
Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Pemerintahan Bani Fatimiyyah dapat disebut sebagai pemerintahan Alawi;
sebuah pemerintahan yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan masa
pemerintahan yang panjang. Pemerintahan Bani Fatimiyyah bermula semenjak
tahun 296 H dan berakhir pada tahun 567. Khalifah Pertama Bani
Fatimiyyah bernama al-Mahdi Billah. Ia adalah Abu Muhammad Ubaidillah
bin Ahmad bin Ismail Ketiga (Tsalits) bin Ahmad bin Ismail Tsalits
(Kedua) bin Ismail A'raj bin Ja'far al-Shadiq As.[11]
Adapun terkait nasab-nasab yang dinukil bagi penguasa Bani Fatimiyyah
yang lain terdapat perbedaan. Namun apa yang pasti dari perbedaan nasab
ini adalah bahwa mereka adalah Alawi dan Ismaili, sambungan nasabnya
hingga Ali."[12]
Para Khalifah Bani Fatimiyyah banyak membantu penyebaran Syiah di Mesir
yang tentunya bukan tempatnya di sini untuk membahas masalah itu. Namun
demikian kita akan mencukupkan tulisan ini bahwa Bani Fatimiyyah
mengibarkan bendera Syiah dan menyatakan Syiah sebagai mazhab resmi
orang-orang Mesir.
Kejatuhan Bani Fatimiyyah disebabkan dua hal yang mereka miliki pada akhir-akhir pemerintahannya:
Para menteri Bani Fatimiyyah memperoleh kekuasaan besar sehingga
memperlemah kekuasaan para khalifah Bani Fatimiyyah. Rapuhnya
fondasi-fondasi pemerintahan; para menteri memperoleh kekuasaan dan
mereka saling memperbutkan kekuasaan satu sama lain. Perebutan kekuasaan
internal ini telah melemahkan internal pemerintahan.
Al-'Adhid, Khalifah Terakhir Bani Fatimiyyah tidak terlalu panjang
berkuasa karena kebanyakan urusan pemerintahan berada di tangan para
menteri. Salah satu menteri yang paling berpengaruh dan paling berkuasa
adalah Syawar yang kemudian terbunuh di tangan Asaduddin Syirkuh.[13]
Setelah kematian Syawar, Asaduddin mengambil alih urusan pemerintahan
Mesir. Asaduddin yang bermazhab Sunni dan merupakan salah seorang mitra
koalisi Khalifah Baghdad, mengambil alih urusan pemerintahan yang
merupakan penyebar Syiah. Pemerintahan Bani Fatimiyyah memandangnya
dirinya sebagai musuh pemerintahan Baghdad menujukkan pemerintahan Bani
Fatimiyyah berada alam kondisi yang sangat terjepit. Pengurusan
pemerintahan yang berada di tangan Asaduddin disertai dengan penguasa
yang lemah, telah menjadi cikal-bakal runtuhnya pemerintahan Bani
Fatimiyyah.
Setelah
Asaduddin, Salahuddin naik takhta kekuasaan dan memberikan beberapa
potong tanah yang sangat berharga kepada sanak saudaranya yang datang
kepadanya. Ia mempersempit ruang gerak para pendukung Adhid dan ia
sendiri yang langsung mengatur urusan pemerintahan. Setelah beberapa
lama, Adhid jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, pada tahun 567.
Pada masa ini, masyarakat menunjukkan sikap acuh-tak-acuh terkait
dengan seseorang yang namanya harus disampaikan pada mimbar-mimbar
sebagai khalifah, hingga hari Jum'at dan seseorang naik ke atas mimbar
menyampaikan khutbah dan menyebut nama al-Mustadhi (Khalifah Abbasiyah)
dan tiada seorang pun yang protes atas penyebutan nama itu. Di Mesir,
setelah itu dan seterusnya, khutbah yang menyebut nama Bani Abbasiyah
disampaikan dan Mesir pada saat itu lepas dari pemerintahan Bani
Fatimiyyah dan Salahuddin Yusuf bin Ayyub tanpa adanya saingan dan
penentang pemerintah di Mesir."[14]
Demikianlah pemerintahan Bani Fatimiyyah berakhir dan Salahuddin Ayyub menjadi penguasa tanpa penentang.
Salahuddin Ayyubi dan Orang-orang Syiah
Pemerintahan-pemerintahan Sunni pada umumnya tidak memiliki hubungan
baik dengan orang-orang Syiah. Umumnya mereka berusaha melenyapkan Syiah
yang hidup di sekeliling mereka. Bahkan pada kebanyakan hal, para
penguasa Sunni berlaku baik dan hormat terhadap pemeluk agama lainnya
seperti Yahudi dan Nasrani. Bahkan mereka memberikan jabatan-jabatan
kepada mereka. Namun mereka tidak berlaku seperti ini terhadap Syiah.
Mereka akan memerangi Syiah dalam bentuk yang terburuk.
Atas hal itu, kita dapat menyebutkan dalil-dalil dan bukti-bukti atas
perlakuan ini yang memerlukan pembahasan lain dan akan kita bahas pada
kesempatan yang lain.
Pemerintahan Dinasti Ayyubi yang puncaknya diduduki oleh Salahuddin
berdasarkan sirah ini, berusaha keras untuk memberantas ajaran Syiah di
Mesir. Usaha ini boleh jadi ditopang oleh selaksa dalil. Dan satu hal
yang pasti dari dalil tersebut adalah dalil-dalil mazhab. Salahuddin
Ayyub adalah seorang pemeluk mazhab Syafi'i yang sangat fanatik dan
tidak kuasa membendung keberadaan kaum minoritas seperti Syiah.
Salahuddin sedemikian memerangi orang-orang Syiah sehingga seolah-olah
menjadi taklif syar'i.
Di
samping itu, ia juga memiliki dalil-dalil politik; karena pemerintahan
Bani Fatimiyyah adalah pemerintahan Syiah dan Salahuddin mengambil alih
pemerintahan dari mereka dan sebagai ikutannya ia menganggap orang-orang
Syiah sebagai rival yang besar kemungkinan suatu hari orang-orang Syiah
akan bangkit melawannnya. Dengan demikian Salahuddin menyatakan perang
dan perlawanan melawan Syiah.
Namun dengan dua dalil, pelbagai peperangan yang terjadi di luar Mesir,
ia berusaha untuk tidak banyak mempekerjakan prajurit di Mesir. Karena
itu, ia berusaha menjadikan perang melawan orang-orang Eropa sebagai
prioritas pekerjaannya. Pada kesempatan ini kita akan membahas secara
ringkas beberapa perlawanan dan terkadang sikap tidak ksatria Salahuddin
terkait dengan Syiah.
Berperang melawan ajaran-ajaran dan
simbol-simbol mazhab Syiah: Salahuddin mengisolir ulama Syiah dan
merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah
Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani
Fatimiyyah. Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syiah harus
dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyura. Salahudin
mengumunmkan hari Asyura sebagai hari gembira dan berpesta nasional.
Tindakannya ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyura
di Mesir bagi orang-orang Syiah.[15]
Demikian juga, ungkapan "Hayya 'ala Khair al-'Amal" yang merupakan
salah satu syiar mazhab Syiah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi
pada tanggal 10 Dzulhijjah 565.[16] Ia menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah disebutkan pada setiap khutbah.[17] Pergantian para hakim Syiah adalah salah satu tindakan Salahuddin dalam melenyapkan Syiah.[18]
Dengan menempatkan hakim Syafi'i sebagai ganti hakim Syi'ah berusaha
supaya fikih Syiah dihapuskan dan fikih Syafi'i dijalankan di tengah
masyarakat Mesir sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini. Pada
sebagian waktu berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syiah di
beberapa daerah namun Shaluhuddin lebih memilih melakukan
kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja
melakukan perlawanan militer melawan Syiah. Menjatuhkan dan mengejar
orang-orang Syiah merupakan salah satu pekerjaan serius para menteri di
bawah pemerintahan Salahuddin. Pada masa Salahuddin menjadi Syiah adalah
sebuah tindak pidana dan orang-orang Syiah akan ditindak secara hukum
dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya dipilih oleh Salahuddin
hanya karena mereka Syiah.[19]
Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara
aktif: Pada akhir-akhir pemerintahan Bani Fatimiyyah, kondisi ekonomi
masyarakat sangat susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh
rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Salahuddin, ia memberikan
kelonggaran kepada rakyat untuk membayar sekali saja pajak mereka.[20]
Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada
pemerintahan Salahuddin dan melupakan pemerintahan Syiah dan pemikiran
Syiah. Mendirikan sekolah-sekolah Syafi'i: Salahuddin yang berusaha
menyebarkan mazhab Syafi'i mendirikan sekolah Syafi'i di Mesir dan
melalui madrasah ini kebanyakan alim dan pendakwah Syafi'Ii akan
memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab
Syafi'i di Mesir.[21]
Perang-perang Salib dan Salahuddin
Perang-perang Salib (I, II, III, dan IV) adalah perang yang dikobarkan
oleh kaum Krisetn melawan kaum Muslimin. Perang Salib ini bermula
semenjak tahun 1096 M dan berlanjut hingga dua abad kemudian.[22] Peperangan ini berkecamuk dalam beberapa tingkatan.
Peristiwa bersejarah ini dikaji secara detil oleh para sejarawan dan
salah satu literatur yang menulis peperangan ini secara detil adalah
buku al-Kâmil fi al-Târikh karya Ibnu Atsir yang kira-kira bermula
semenjak pertengahan jilid 22 hingga pertengahan jilid 24. Buku ini
kurang lebih tujuh puluh persen yang berkaitan dengan perang-perang
Salib dan Salahuddin.
Pada masa-masa perang ini, Salahuddin memerintahkan orang-orang kuat di
pelbagai kota dan menguatkan fondasi-fondasi kota-kota supaya
orang-orang Eropa tidak mampu mendekati daerah itu. Dari sisi lain,
pasukan Salahuddin menyerang kota-kota di Suriah (Syam) yang jatuh di
tangan orang-orang Eropa dan menaklukkannya kemudian menangkap
orang-orang Eropa. Salahuddin dalam masa kurang dari lima tahun banyak
menguasai kota-kota, namun yang lebih penting dari semua itu adalah
penaklukkan Baitul Muqaddas.
Kota Baitul Muqaddas merupakan salah satu tempat strategis dan sangat
penting dari sudut pandang keagamaan. Baitul Muqaddas adalah tempat
strategis dan ideologis. Kota ini pada perang Salib I jatuh di tangan
orang-orang Kristen dan Salahuddin mampu mengambil alih kota tersebut
dari tangan orang-orang Kristen.
Shalahudin dengan menaklukkan Baitul Muqaddas dan membebaskannya dari
tangan orang-orang Kristen, mampu membuat namanya terkenal dan terpatri
di seantero penjuru kota Islam.
Kiprah Salahuddin khususnya dalam peperangan Salib, menjadi sebab ia
dikenal dan dihormati di kalangan kaum Muslimin khususnya Sunni dan
kebanyakan ulama dan sejarawan Sunni menyebutnya namanya dengan harum.
Akan tetapi keterkenalan dan kiprahnya tidak dapat menjadi dalih bahwa
seluruh perbuatannya dapat dibenarkan. Ia juga melakukan
tindakan-tindakan yang secara moral dan syariat tidak benar dan bahkan
dapat dipandang sebagai perbuatan tercela. Salah satu dari perbuatan
tercelanya adalah sikapnya terhadap orang-orang Syiah yang telah
disebutkan sebelumnya.
Di
samping itu, supaya tidak membiarkan orang-orang Kristen begitu saja
tanpa balasan, ia juga melakukan tindakan serupa. Membunuh dan merampas,
banyak menyiksa rakyat sipil sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Kristen setelah menaklukkan kota-kota. Ia juga melakukan hal yang sama
setelah menaklukkan kota-kota. Perbuatan-perbuatan ini meski pada masa
tersebut dinilai sebagai perbuatan biasa, namun sekali-kali kita tidak
dapat memandangnya sebagai perbuatan islami.
Pada kesempatan ini, kami akan mencukupkan dengan menyebutkan beberapa contoh dari perbuatannya:
"…Salahuddin singgah di tepi pada Nahr al-Aswad. Di tempat itu ia membunuh dan menjarah harta orang-orang di kota itu."[23]
"…Salahuddin pergi ke Ra's al-'Ain dan mengusir orang-orang di tempat
itu. Kemudian ia membawa lasykar ke Mardin (sekarang bagian tenggara
Turki) dan ditempat itu ia menjarah dan memunuh orang-orang di tempat
itu. "[24]
"…Salahuddin menjarah kota Tabariyah (Tiberia, Suriah) dan membakarnya.[25]
Wafat Salahuddin
Pada bulan Shafar tahun 589, Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi
panglima Mesir, Suriah, al-Jazirah dan kota-kota lainnya, tutup usia di
Damaskus. Ia menjadi penguasa di Mesir pada tahun 564 H. Ia sakit
disebabkan karena ia pergi untuk menemui jama`ah haji. Ia pulang dan
jatuh sakit. Sakitnya sangat keras. Ia bertahan selama 8 hari dari saat
ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia.
0 komentar:
Posting Komentar