Cerpen merupakan genre sastra yang jauh lebih muda usianya
dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak penting sejarah
penulisan cerpen di Indonesia dimulai Muhamad Kasim dan Suman
Hasibuan pada awal 1910-an.
Cerpen merupakan cerita yang pendek, hanya mengisahkan
satu peristiwa (konflik tunggal), tetapi menyelesaikan semua tema dan
persoalan secara tuntas dan utuh. Awal cerita (opening) ditulis secara
menarik dan mudah diingat oleh pembacanya. Kemudian, pada bagian
akhir cerita (ending) ditutup dengan suatu kejutan (surprise).
Menurut Phyllis Duganne, seorang wanita penulis dari Amerika,
cerpen ialah susunan kalimat yang merupakan cerita yang mempunyai
awal, bagian tengah, dan akhir. Setiap cerpen mempunyai tema, yakni
inti cerita atau gagasan yang ingin diucapkan cerita itu. Seperti halnya
penamaannya, cerita pendek, cerpen ialah bentuk cerita yang dapat
dibaca tuntas dalam sekali duduk. Daerah lingkupnya kecil dan
karena itu biasanya ceritanya berpusat pada satu tokoh atau satu
masalah. Ceritanya sangat kompak, tidak ada bagiannya yang hanya
berfungsi sebagai embel-embel. Tiap bagian, kalimat, kata, dan tanda
baca semuanya tidak ada yang sia-sia. Semuanya memberi saham
yang penting untuk menggerakkan jalan cerita, atau mengungkapkan
watak tokoh, atau melukiskan suasana (Diponegoro, 1985: 6).
Menurut Edgar Alan Poe (yang dianggap sebagai tokoh cerpen
modern), ada lima aturan penulisan cerpen, yakni sebagai berikut.
1. Cerpen harus pendek. Artinya, cukup pendek untuk dibaca
dalam sekali duduk. Cerpen memberi kesan kepada pembacanya
secara terus-menerus, tanpa terputus-putus, sampai kalimat yang
terakhir.
2. Cerpen seharusnya mengarah untuk membuat efek yang
tunggal dan unik. Sebuah cerpen yang baik mempunyai ketunggalan
pikiran dan action yang bisa dikembangkan lewat sebuah garis yang
langsung dari awal hingga akhir.
3. Cerpen harus ketat dan padat. Cerpen harus berusaha memadatkan
setiap gambaran pada ruangan sekecil mungkin. Maksudnya agar
pembaca mendapatkan kesan tunggal dari keseluruhan cerita.
4. Cerpen harus tampak sungguhan. Seperti sungguhan adalah
dasar dari semua seni mengisahkan cerita. Semua tokoh ceritanya
dibuat sungguhan, berbicara dan berlaku seperti manusia yang
betul-betul hidup.
5. Cerpen harus memberi kesan yang tuntas. Selesai membaca
cerpen, pembaca harus merasa bahwa cerita itu betul-betul selesai.
Jika ujung cerita masih terkatung-katung, pembaca akan merasa
kecewa.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Cerpen
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsure-unsur yang secara faktual
dapat dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik
dalam karya sastra, khususnya cerpen, meliputi tokoh/ penokohan,
alur (plot), gaya bahasa, sudut pandang, latar (setting), tema, dan
amanat.
Berikut penjelasan mengenai unsur intrinsik.
1. Tokoh dan Karakter Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan
watak, perwatakan, atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seorang tokoh.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa
dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan kepada pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh
protagonis dan antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal
bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai
dengan pandangan dan harapan pembaca. Adapun tokoh antagonis
adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik. Tokoh antagonis
merupakan penentang tokoh protagonis.
Ada beberapa cara penggambaran karakter tokoh dalam cerpen,
di antaranya sebagai berikut.
Melalui apa yang diperbuat tokoh. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana sang tokoh bersikap dalam situasi ketika tokoh harus
mengambil keputusan.
Contoh:
Dengan terburu-buru Wei meninggalkan kota, dan peristiwa
itu tak lama kemudian sudah terlupakan.
Ia lantas pergi ke barat, ke ibu kota, dan karena dikecewakan
oleh pinangan terakhir yang gagal itu, ia mengesampingkan pi-
kirannya dari hal perkawinan. Tiga tahun kemudian, ia berhasil
meminang seorang gadis dari keluarga Tan yang terkenal
kebaikannya di dalam masyarakat.
Sumber: Cerpen "Sekar dan Gadisnya", Ryke L.
Melalui ucapan-ucapan tokoh. Dari apa yang diucapkan tokoh
kita dapat mengetahui karakternya.
Contoh:
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 11.7
Buku kumpulan cerpen Malaikat
Tak Datang Malam Hari karya Joni
Ariadinata.
"Apa yang tidak Ibu berikan padamu? Ibu bekerja keras supaya bisa
menyekolahkanmu. Kau tak punya kewajiban apa-apa selain sekolah
dan belajar. Ibu juga tak pernah melarangmu melakukan apa saja yang
kau sukai. Tapi, mestinya kamu ingat bahwa kewajiban utamamu adalah
belajar. Hargai sedikit jerih payah Ibu!"
Di luar dugaannya anak itu menatapnya dengan berani. "Ibu tak
perlu susah payah menghidupi aku kalau Ibu keberatan. Aku bisa saja
berhenti sekolah dan tidak usah menjadi tanggungan Ibu lagi."
Darah Sekar –ibu anak itu–serasa naik ke ubun-ubun.
Sumber: Cerpen "Sekar dan Gadisnya", Ryke L.
Melalui penjelasan langsung. Dalam hal ini penulis menggambarkan
secara langsung karakter tokoh.
Contoh:
Memang, sebenarnya, semenjak dia datang, kami sudah
membenci dia. Kami membenci bukan karena kami adalah
orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan
suasana tidak enak. Perilaku dia sangat kejam. Dalam berburu
dia tidak sekadar berusaha untuk membunuh, namun menyiksa
sebelum akhirnya membunuh. Maka, telah begitu banyak binatang
menderita berkepanjangan, sebelum akhirnya dia habiskan
dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.
Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia
sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar
meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata
kotor, cabul, dan menjijikkan.
Sumber: Cerpen "Derabat", Budi Darma
2. Latar (Setting)
Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara
konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sunguh-sungguh ada dan terjadi.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu
sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsur
tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan
nama tertentu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan "kapan" terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan.
c. Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan
hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, serta hal-hal lainnya.
3. Alur (Plot)
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab
akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi
menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat
cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasa disebut juga
susunan cerita atau jalan cerita.
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam menyusun bagian-
bagian cerita, yakni sebagai berikut.
Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan
mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Susunan yang demikian
disebut alur maju. Urutan peristiwa tersebut meliputi:
- mulai melukiskan keadaan (situation);
- peristiwa-peristiwa mulai bergerak (generating circumtanses);
- keadaan mulai memuncak (rising action);
- mencapai titik puncak (klimaks)
- pemecahan masalah/ penyelesaian (denouement)
Pengarang menyusun peristiwa secara tidak berurutan. Pe-
ngarang dapat memulainya dari peristiwa terakhir atau peristiwa
yang ada di tengah, kemudian menengok kembali pada peristiwa-
peristiwa yang mendahuluinya. Susunan yang demikian disebut alur
sorot balik (flashback).
Selain itu, ada juga istilah alur erat dan alur longgar. Alur erat
adalah jalinan peristiwa yang sangat padu sehingga apabila salah
satu peristiwa ditiadakan maka dapat mengganggu keutuhan cerita.
Adapun alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak begitu
padu sehingga apabila salah satu peristiwa ditiadakan tidak akan
mengganggu jalan cerita.
4. Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah visi pengarang dalam memandang suatu
peristiwa dalam cerita. Untuk mengetahui sudut pandang, kita dapat
mengajukan pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah tersebut?
Ada beberapa macam sudut pandang, di antaranya sudut pandang
orang pertama (gaya bercerita dengan sudut pandang "aku"), sudut
pandang peninjau (orang ketiga), dan sudut pandang campuran.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian
dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan
meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,
dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan
seorang pengarang terhadap karyanya.
6. Tema
Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide
cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai
peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah
cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.
7. Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik
hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat
adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan
atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun
cerita sebuah karya. Yang termasuk unsur ekstrinsik karya sastra
antara lain sebagai berikut.
1. Keadaan subjektivitas pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup.
2. Psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya),
psikologi pembaca, dan penerapan prinsip-prinsip psikologi
dalam sastra.
3. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik,
dan sosial.
4. Pandangan hidup suatu bangsa dan berbagai karya seni yang
lainnya.
Bacalah contoh cerpen berikut.
Tua
Karya Mustafa Ismail
Meski tulang rahangnya tetap kekar dan keras,
wajahnya sudah menampakkan ketuaan. Tatapan ma-
tanya tidak setajam dulu. Dan mata itu menjadi agak
rabun. Ia tidak begitu mengenali orang yang bertemu
dengannya.
"Muista Fahendra, ya. Kau gemuk sekali sekarang,
hampir tidak kukenal. Kukira kau kontraktor yang akan
membangun Taman Budaya, ha ha ha," katanya ketika ia
melihatku muncul di Taman Budaya sore itu.
Tubuhnya tidak segemuk dua belas tahun lalu, saat
kami sama-sama suka tidur di meunasah tuha, surau di
Taman Budaya. Daging di pipinya makin menipis. Bentuk
rambutnya berubah, menjadi tipis, tidak lagi gondrong
membentuk bundaran mirip bunga kol yang bagian
kedua sampingnya ditipiskan. Ubannya makin penuh di
kepala.
Aku memandang lelaki itu dari atas ke bawah.
Ia tidak garang lagi, seperti dulu ketika mengatur
sepeda motor dan mobil yang parkir di Rex, tempat
ia menjadi juru parkir. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Tapi kumisnya tetap tebal.
"Apa kau lihat? Aku sudah tua ya," katanya.
"Abang tetap gagah," kataku.
Ia tergelak.
"Kau jangan menghiburku. Katakan saja bahwa
aku sudah tua."
"Tapi pasti abang tetap disukai banyak
perempuan."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari puisi yang abang kirim lewat SMS kepadaku
beberapa bulan lalu." "Ha ha. Soal puisi itu, aku mau
cerita sama kau. Tapi kita perlu duduk barang dua jam.
Oh ya, kapan kau kembali ke Jakarta?"
"Dua hari lagi."
"Begini aja. Nanti malam jam delapan kita
ketemu di Rex. Sekarang aku harus pergi, ada janji
sama seseorang."
"Seseorang yang cantik?"
"Ha ha ha!" Tawanya keras sekali. Aku ikut
tertawa.
"Pada akhirnya memang kita akan tua. Tapi
aku belum ingin tua." Bang Burhan mengucapkan
kata-kata itu belasan tahun lalu, ketika kami sering
bertemu, ngobrol tentang banyak hal, di meunasah
tuha atau di warung kopi Siang Malam, tempat
banyak seniman dan wartawan di kota itu sering
ngopi pagi.
"Mengapa Abang mencemaskan tua?"
Aku memandang lelaki itu lekat-lekat. Tidak
biasanya dia begitu. Wajahnya tampak begitu serius.
Seperti ada sesuatu yang sedang menjadi masalah
besar baginya. Ia menghela nafas, lalu matanya di
arahkan ke luar, ke jalan raya kota itu yang ramai.
"Ada yang mengatakan aku sudah tua bangka.
Tak pantas...."
Belum sempat kata-kata itu diteruskan, seorang
anak muda masuk dan mengajaknya pergi. Ia bangkit
dan melangkah, tanpa berkata apa pun kepadaku. Ia
pergi bersama pemuda itu, yang tak lain anak tertua
Bang Burhan. Mataku mengikutinya hingga tubuhnya
menghilang di luar.
Lama Bang Burhan tidak muncul. Teman-teman
bertanya-tanya. Sebulan kemudian, aku melihat Bang
Burhan menggandeng seorang gadis cantik di Terminal
Jalan Diponegoro. Ia naik angkutan kota, labi-labi, ke
jurusan Lhoknga. Wajahnya sumringah. Aku ingin
memanggil, tapi tubuhnya segera hilang di balik labi-
labi itu.
Aku tak mengenal gadis itu. Tampaknya ia
seorang mahasiswa. Aku jadi bertanya-tanya, siapakah
dia? Tapi aku segera ingat bahwa banyak perempuan
yang senang dengan puisi laki-laki itu yang romantis
dengan irama mendayu-dayu. Mungkin gadis itu salah
satu penggila puisi-puisinya. Tak heran, ia banyak dekat
dengan perempuan. Biasanya peristiwa kedekatannya
itu akan tumpah dalam puisinya yang dimuat di koran.
Rupanya beberapa teman juga kerap melihat Bang
Burhan bersama gadis dengan ciri-ciri yang sama:
hitam manis, rambut sebahu, dan memakai kaca mata.
Suatu kali, ia muncul di Taman Budaya. Wajahnya
murung. Aku bersama dua teman, Saiful dan Sulaiman
Juned, sedang tidur-tiduran sambil ngobrol di meunasah
tuha. Ia tidak banyak berkata-kata.
"Dari Blang Bintang, Bang?" tanya Sulaiman.
"Ya. Aku mau tidur. Jangan diganggu ya,"
katanya dengan suara agak parau, tapi tegas. Lalu,
ia merebahkan diri di salah satu sudut meunasah.
Kami terus mengobrol bisik-bisik di sudut lain,
sambil sesekali memperhatikan Bang Burhan.
Rupanya ia tidak sepenuhnya tidur. Dengan posisi
tidur miring menghadap dinding meunasah, ia asyik
memperhatikan sebuah foto ukuran kartu pos.
"Kalau tidak sedang jatuh cinta pasti Bang
Burhan sedang patah hati," kata Sulaiman.
Aku dan Saiful hanya tersenyum.
Beberapa saat kemudian, ia menaruh foto itu
didadanya dan ia benar-benar tertidur.
Sore-sore, aku kembali berpaspasan dengan
Bang Burhan di depan kantin Taman Budaya, lagi-
lagi dengan wajah murung. Ia tidak menyapa, bahkan
tidak menoleh ke kantin yang dilewatinya. Ia terus
keluar dari kompleks itu, lalu berjalan ke arah kota
menyusuri trotoar di depan Gunongan. Jalanan
seolah menelan tubuhnya yang dibalut baju batik
bermotif merah itu. Tiga minggu kemudian, kami
baru tahu apa yang sesungguhnya terjadi, ketika kami
baca puisinya muncul di koran. Ia menulis begini:
teluk semakin tertutup buat kapal-kapal
termangu tanpa ada yang membelai
kecuali ombak laut dan baris-baris kenangan
yang lama tersimpan dalam buku catatan
harian
rindu sudah terpenggal
Ia menggambarkan cintanya yang tertutup.
Tapi tak jelas, siapa yang menutup cintanya itu. Tapi
belakangann aku, juga teman-teman, tidak pernah
melihat lagi ia berjalan dengan gadis mahasiswa itu.
Kami segera menebak-nebak: pastilah perempuan
itu yang telah menutup cintanya buat Bang Burhan.
"Kalian keliru. Gadis itu anakku yang tinggal
di kampung. Ia baru kuliah di sini, makanya sering
kujemput," katanya suatu kali di warung Siang
Malam.
"Kalau begitu, boleh lah gadis itu kutaksir,"
Anhar menyela.
"Aku enggak mau anakku cuma kau kasih
makan puisi. Ha ha ha!"
"Enggak melulu puisilah. Nanti gantian sama
cerpen, novel...." Saiful menimpali.
"Ha ha ha!"
"Jangan lupa sesekali dikasih drama juga. Ha ha
ha!"
Rex sangat ramai. Aku melangkah masuk, sambil
menyebar pandang ke seluruh penjuru tempat
jajanan yang dengan kursi-kursi plastik dan dikeliling
warung-warung penjual makanan itu. Di antara
orang ramai itu, Bang Burhan melambai-lambai. Ia
sedang bersama seorang perempuan muda.
"Ini Muista Fahendra, mengaku pengrajin puisi,
bukan penyair. Ia sudah jadi orang Jakarta sejak dua
belas tahun lalu," katanya ketika memperkenalkanku
kepada perempuan itu. "Ini Linda."
Kami duduk. Tapi, mataku kembali menoleh ke
perempuan yang berumur 30-an itu. Wajahnya tidak
asing. Aku mencoba mengingat-ingat. Aku terlonjak.
Inilah perempuan yang dulu pernah kulihat digandeng
Bang Burhan ketika naik labi-labi jurusan Lhok Nga.
Setelah duduk sebentar, perempuan muda itu
mohon diri. "Maaf, saya harus pulang," katanya lalu
bangkit.
Bang Burhan mengantarnya sampai ke mobil
sedan yang parkir di depan Rex. Setelah mobil itu
menghilang ditelan malam, Bang Burhan kembali ke
tempat duduk kami.
"Pasti ini perempuan yang dulu Abang sering
jemput."
"Ha ha. Sudah kuduga, pasti kau ingat perempuan itu."
"Jelas ingat. Ia kan anak abang yang tinggal di
kampung."
"Ha ha ha!" Tawa Bang Burhan makin keras.
"Kalian mau saja kubodohi. Anakku semua tinggal di
Banda Aceh, tidak ada yang di kampung. Ha ha ha!"
"Lalu itu siapa?"
"Itu anak orang, ha ha ha!"
"Ha ha ha!"
Setelah tawa kami reda, Bang Burhan berkata
hati-hati. "Dia ditinggal suaminya yang menjadi korban
tsunami." Ia berhenti sejenak, diam, menarik nafas lalu
menghembuskan perlahan. "Aku mau kawin sama
dia," ia melanjutkan. "Aku sedang cari cara. Sebab,
keluarganya bilang ngapain kawin sama orang tua
bangka. Apakah aku memang sudah benar-benar tua?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Aku
ragu, apakah pertanyaan itu perlu kujawab? Tiba-
tiba aku tidak punya keberanian menjawabnya. Aku
mencoba diam, pura-pura lupa. Mataku memandang
lampu kendaraan yang lalu lalang di depan Rex,
berbaur dengan lampu toko-toko dan dua hotel
yang mengelilinginya. Lampu-lampu itu membentuk
lautan cahaya yang tak habis-habisnya.
"Fahendra, coba kau jawab dulu, apakah aku
memang benar-benar sudah tua, sehingga tidak
pantas kawin dengan perempuan itu?"
Aku ingin menjawab bahwa sesungguhnya
Bang Burhan sudah tua. Umurnya sudah 73 tahun.
Tapi mulutku sangat susah untuk bicara. Aku takut
melukai hatinya, hati seorang kawan yang kembali
jatuh cinta
dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak penting sejarah
penulisan cerpen di Indonesia dimulai Muhamad Kasim dan Suman
Hasibuan pada awal 1910-an.
Cerpen merupakan cerita yang pendek, hanya mengisahkan
satu peristiwa (konflik tunggal), tetapi menyelesaikan semua tema dan
persoalan secara tuntas dan utuh. Awal cerita (opening) ditulis secara
menarik dan mudah diingat oleh pembacanya. Kemudian, pada bagian
akhir cerita (ending) ditutup dengan suatu kejutan (surprise).
Menurut Phyllis Duganne, seorang wanita penulis dari Amerika,
cerpen ialah susunan kalimat yang merupakan cerita yang mempunyai
awal, bagian tengah, dan akhir. Setiap cerpen mempunyai tema, yakni
inti cerita atau gagasan yang ingin diucapkan cerita itu. Seperti halnya
penamaannya, cerita pendek, cerpen ialah bentuk cerita yang dapat
dibaca tuntas dalam sekali duduk. Daerah lingkupnya kecil dan
karena itu biasanya ceritanya berpusat pada satu tokoh atau satu
masalah. Ceritanya sangat kompak, tidak ada bagiannya yang hanya
berfungsi sebagai embel-embel. Tiap bagian, kalimat, kata, dan tanda
baca semuanya tidak ada yang sia-sia. Semuanya memberi saham
yang penting untuk menggerakkan jalan cerita, atau mengungkapkan
watak tokoh, atau melukiskan suasana (Diponegoro, 1985: 6).
Menurut Edgar Alan Poe (yang dianggap sebagai tokoh cerpen
modern), ada lima aturan penulisan cerpen, yakni sebagai berikut.
1. Cerpen harus pendek. Artinya, cukup pendek untuk dibaca
dalam sekali duduk. Cerpen memberi kesan kepada pembacanya
secara terus-menerus, tanpa terputus-putus, sampai kalimat yang
terakhir.
2. Cerpen seharusnya mengarah untuk membuat efek yang
tunggal dan unik. Sebuah cerpen yang baik mempunyai ketunggalan
pikiran dan action yang bisa dikembangkan lewat sebuah garis yang
langsung dari awal hingga akhir.
3. Cerpen harus ketat dan padat. Cerpen harus berusaha memadatkan
setiap gambaran pada ruangan sekecil mungkin. Maksudnya agar
pembaca mendapatkan kesan tunggal dari keseluruhan cerita.
4. Cerpen harus tampak sungguhan. Seperti sungguhan adalah
dasar dari semua seni mengisahkan cerita. Semua tokoh ceritanya
dibuat sungguhan, berbicara dan berlaku seperti manusia yang
betul-betul hidup.
5. Cerpen harus memberi kesan yang tuntas. Selesai membaca
cerpen, pembaca harus merasa bahwa cerita itu betul-betul selesai.
Jika ujung cerita masih terkatung-katung, pembaca akan merasa
kecewa.
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam Cerpen
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsure-unsur yang secara faktual
dapat dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik
dalam karya sastra, khususnya cerpen, meliputi tokoh/ penokohan,
alur (plot), gaya bahasa, sudut pandang, latar (setting), tema, dan
amanat.
Berikut penjelasan mengenai unsur intrinsik.
1. Tokoh dan Karakter Tokoh
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan
watak, perwatakan, atau karakter menunjuk pada sifat dan sikap
para tokoh yang menggambarkan kualitas pribadi seorang tokoh.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa
dan penyampai pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan kepada pembaca. Secara umum kita mengenal tokoh
protagonis dan antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal
bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai
dengan pandangan dan harapan pembaca. Adapun tokoh antagonis
adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik. Tokoh antagonis
merupakan penentang tokoh protagonis.
Ada beberapa cara penggambaran karakter tokoh dalam cerpen,
di antaranya sebagai berikut.
Melalui apa yang diperbuat tokoh. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana sang tokoh bersikap dalam situasi ketika tokoh harus
mengambil keputusan.
Contoh:
Dengan terburu-buru Wei meninggalkan kota, dan peristiwa
itu tak lama kemudian sudah terlupakan.
Ia lantas pergi ke barat, ke ibu kota, dan karena dikecewakan
oleh pinangan terakhir yang gagal itu, ia mengesampingkan pi-
kirannya dari hal perkawinan. Tiga tahun kemudian, ia berhasil
meminang seorang gadis dari keluarga Tan yang terkenal
kebaikannya di dalam masyarakat.
Sumber: Cerpen "Sekar dan Gadisnya", Ryke L.
Melalui ucapan-ucapan tokoh. Dari apa yang diucapkan tokoh
kita dapat mengetahui karakternya.
Contoh:
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 11.7
Buku kumpulan cerpen Malaikat
Tak Datang Malam Hari karya Joni
Ariadinata.
"Apa yang tidak Ibu berikan padamu? Ibu bekerja keras supaya bisa
menyekolahkanmu. Kau tak punya kewajiban apa-apa selain sekolah
dan belajar. Ibu juga tak pernah melarangmu melakukan apa saja yang
kau sukai. Tapi, mestinya kamu ingat bahwa kewajiban utamamu adalah
belajar. Hargai sedikit jerih payah Ibu!"
Di luar dugaannya anak itu menatapnya dengan berani. "Ibu tak
perlu susah payah menghidupi aku kalau Ibu keberatan. Aku bisa saja
berhenti sekolah dan tidak usah menjadi tanggungan Ibu lagi."
Darah Sekar –ibu anak itu–serasa naik ke ubun-ubun.
Sumber: Cerpen "Sekar dan Gadisnya", Ryke L.
Melalui penjelasan langsung. Dalam hal ini penulis menggambarkan
secara langsung karakter tokoh.
Contoh:
Memang, sebenarnya, semenjak dia datang, kami sudah
membenci dia. Kami membenci bukan karena kami adalah
orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan
suasana tidak enak. Perilaku dia sangat kejam. Dalam berburu
dia tidak sekadar berusaha untuk membunuh, namun menyiksa
sebelum akhirnya membunuh. Maka, telah begitu banyak binatang
menderita berkepanjangan, sebelum akhirnya dia habiskan
dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.
Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia
sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar
meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata
kotor, cabul, dan menjijikkan.
Sumber: Cerpen "Derabat", Budi Darma
2. Latar (Setting)
Latar dalam sebuah cerita menunjuk pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara
konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sunguh-sungguh ada dan terjadi.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu
sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa. Unsur
tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan
nama tertentu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan "kapan" terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan.
c. Latar Sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan dosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan
hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, serta hal-hal lainnya.
3. Alur (Plot)
Alur adalah urutan peristiwa yang berdasarkan hukum sebab
akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, akan tetapi
menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Kehadiran alur dapat membuat
cerita berkesinambungan. Oleh karena itu, alur biasa disebut juga
susunan cerita atau jalan cerita.
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam menyusun bagian-
bagian cerita, yakni sebagai berikut.
Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa secara berurutan
mulai dari perkenalan sampai penyelesaian. Susunan yang demikian
disebut alur maju. Urutan peristiwa tersebut meliputi:
- mulai melukiskan keadaan (situation);
- peristiwa-peristiwa mulai bergerak (generating circumtanses);
- keadaan mulai memuncak (rising action);
- mencapai titik puncak (klimaks)
- pemecahan masalah/ penyelesaian (denouement)
Pengarang menyusun peristiwa secara tidak berurutan. Pe-
ngarang dapat memulainya dari peristiwa terakhir atau peristiwa
yang ada di tengah, kemudian menengok kembali pada peristiwa-
peristiwa yang mendahuluinya. Susunan yang demikian disebut alur
sorot balik (flashback).
Selain itu, ada juga istilah alur erat dan alur longgar. Alur erat
adalah jalinan peristiwa yang sangat padu sehingga apabila salah
satu peristiwa ditiadakan maka dapat mengganggu keutuhan cerita.
Adapun alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak begitu
padu sehingga apabila salah satu peristiwa ditiadakan tidak akan
mengganggu jalan cerita.
4. Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah visi pengarang dalam memandang suatu
peristiwa dalam cerita. Untuk mengetahui sudut pandang, kita dapat
mengajukan pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah tersebut?
Ada beberapa macam sudut pandang, di antaranya sudut pandang
orang pertama (gaya bercerita dengan sudut pandang "aku"), sudut
pandang peninjau (orang ketiga), dan sudut pandang campuran.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian
dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan
meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas,
dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan
seorang pengarang terhadap karyanya.
6. Tema
Tema adalah persoalan pokok sebuah cerita. Tema disebut juga ide
cerita. Tema dapat berwujud pengamatan pengarang terhadap berbagai
peristiwa dalam kehidupan ini. Kita dapat memahami tema sebuah
cerita jika sudah membaca cerita tersebut secara keseluruhan.
7. Amanat
Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik
hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat
adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan
atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun
cerita sebuah karya. Yang termasuk unsur ekstrinsik karya sastra
antara lain sebagai berikut.
1. Keadaan subjektivitas pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup.
2. Psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya),
psikologi pembaca, dan penerapan prinsip-prinsip psikologi
dalam sastra.
3. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik,
dan sosial.
4. Pandangan hidup suatu bangsa dan berbagai karya seni yang
lainnya.
Bacalah contoh cerpen berikut.
Tua
Karya Mustafa Ismail
Meski tulang rahangnya tetap kekar dan keras,
wajahnya sudah menampakkan ketuaan. Tatapan ma-
tanya tidak setajam dulu. Dan mata itu menjadi agak
rabun. Ia tidak begitu mengenali orang yang bertemu
dengannya.
"Muista Fahendra, ya. Kau gemuk sekali sekarang,
hampir tidak kukenal. Kukira kau kontraktor yang akan
membangun Taman Budaya, ha ha ha," katanya ketika ia
melihatku muncul di Taman Budaya sore itu.
Tubuhnya tidak segemuk dua belas tahun lalu, saat
kami sama-sama suka tidur di meunasah tuha, surau di
Taman Budaya. Daging di pipinya makin menipis. Bentuk
rambutnya berubah, menjadi tipis, tidak lagi gondrong
membentuk bundaran mirip bunga kol yang bagian
kedua sampingnya ditipiskan. Ubannya makin penuh di
kepala.
Aku memandang lelaki itu dari atas ke bawah.
Ia tidak garang lagi, seperti dulu ketika mengatur
sepeda motor dan mobil yang parkir di Rex, tempat
ia menjadi juru parkir. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Tapi kumisnya tetap tebal.
"Apa kau lihat? Aku sudah tua ya," katanya.
"Abang tetap gagah," kataku.
Ia tergelak.
"Kau jangan menghiburku. Katakan saja bahwa
aku sudah tua."
"Tapi pasti abang tetap disukai banyak
perempuan."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari puisi yang abang kirim lewat SMS kepadaku
beberapa bulan lalu." "Ha ha. Soal puisi itu, aku mau
cerita sama kau. Tapi kita perlu duduk barang dua jam.
Oh ya, kapan kau kembali ke Jakarta?"
"Dua hari lagi."
"Begini aja. Nanti malam jam delapan kita
ketemu di Rex. Sekarang aku harus pergi, ada janji
sama seseorang."
"Seseorang yang cantik?"
"Ha ha ha!" Tawanya keras sekali. Aku ikut
tertawa.
"Pada akhirnya memang kita akan tua. Tapi
aku belum ingin tua." Bang Burhan mengucapkan
kata-kata itu belasan tahun lalu, ketika kami sering
bertemu, ngobrol tentang banyak hal, di meunasah
tuha atau di warung kopi Siang Malam, tempat
banyak seniman dan wartawan di kota itu sering
ngopi pagi.
"Mengapa Abang mencemaskan tua?"
Aku memandang lelaki itu lekat-lekat. Tidak
biasanya dia begitu. Wajahnya tampak begitu serius.
Seperti ada sesuatu yang sedang menjadi masalah
besar baginya. Ia menghela nafas, lalu matanya di
arahkan ke luar, ke jalan raya kota itu yang ramai.
"Ada yang mengatakan aku sudah tua bangka.
Tak pantas...."
Belum sempat kata-kata itu diteruskan, seorang
anak muda masuk dan mengajaknya pergi. Ia bangkit
dan melangkah, tanpa berkata apa pun kepadaku. Ia
pergi bersama pemuda itu, yang tak lain anak tertua
Bang Burhan. Mataku mengikutinya hingga tubuhnya
menghilang di luar.
Lama Bang Burhan tidak muncul. Teman-teman
bertanya-tanya. Sebulan kemudian, aku melihat Bang
Burhan menggandeng seorang gadis cantik di Terminal
Jalan Diponegoro. Ia naik angkutan kota, labi-labi, ke
jurusan Lhoknga. Wajahnya sumringah. Aku ingin
memanggil, tapi tubuhnya segera hilang di balik labi-
labi itu.
Aku tak mengenal gadis itu. Tampaknya ia
seorang mahasiswa. Aku jadi bertanya-tanya, siapakah
dia? Tapi aku segera ingat bahwa banyak perempuan
yang senang dengan puisi laki-laki itu yang romantis
dengan irama mendayu-dayu. Mungkin gadis itu salah
satu penggila puisi-puisinya. Tak heran, ia banyak dekat
dengan perempuan. Biasanya peristiwa kedekatannya
itu akan tumpah dalam puisinya yang dimuat di koran.
Rupanya beberapa teman juga kerap melihat Bang
Burhan bersama gadis dengan ciri-ciri yang sama:
hitam manis, rambut sebahu, dan memakai kaca mata.
Suatu kali, ia muncul di Taman Budaya. Wajahnya
murung. Aku bersama dua teman, Saiful dan Sulaiman
Juned, sedang tidur-tiduran sambil ngobrol di meunasah
tuha. Ia tidak banyak berkata-kata.
"Dari Blang Bintang, Bang?" tanya Sulaiman.
"Ya. Aku mau tidur. Jangan diganggu ya,"
katanya dengan suara agak parau, tapi tegas. Lalu,
ia merebahkan diri di salah satu sudut meunasah.
Kami terus mengobrol bisik-bisik di sudut lain,
sambil sesekali memperhatikan Bang Burhan.
Rupanya ia tidak sepenuhnya tidur. Dengan posisi
tidur miring menghadap dinding meunasah, ia asyik
memperhatikan sebuah foto ukuran kartu pos.
"Kalau tidak sedang jatuh cinta pasti Bang
Burhan sedang patah hati," kata Sulaiman.
Aku dan Saiful hanya tersenyum.
Beberapa saat kemudian, ia menaruh foto itu
didadanya dan ia benar-benar tertidur.
Sore-sore, aku kembali berpaspasan dengan
Bang Burhan di depan kantin Taman Budaya, lagi-
lagi dengan wajah murung. Ia tidak menyapa, bahkan
tidak menoleh ke kantin yang dilewatinya. Ia terus
keluar dari kompleks itu, lalu berjalan ke arah kota
menyusuri trotoar di depan Gunongan. Jalanan
seolah menelan tubuhnya yang dibalut baju batik
bermotif merah itu. Tiga minggu kemudian, kami
baru tahu apa yang sesungguhnya terjadi, ketika kami
baca puisinya muncul di koran. Ia menulis begini:
teluk semakin tertutup buat kapal-kapal
termangu tanpa ada yang membelai
kecuali ombak laut dan baris-baris kenangan
yang lama tersimpan dalam buku catatan
harian
rindu sudah terpenggal
Ia menggambarkan cintanya yang tertutup.
Tapi tak jelas, siapa yang menutup cintanya itu. Tapi
belakangann aku, juga teman-teman, tidak pernah
melihat lagi ia berjalan dengan gadis mahasiswa itu.
Kami segera menebak-nebak: pastilah perempuan
itu yang telah menutup cintanya buat Bang Burhan.
"Kalian keliru. Gadis itu anakku yang tinggal
di kampung. Ia baru kuliah di sini, makanya sering
kujemput," katanya suatu kali di warung Siang
Malam.
"Kalau begitu, boleh lah gadis itu kutaksir,"
Anhar menyela.
"Aku enggak mau anakku cuma kau kasih
makan puisi. Ha ha ha!"
"Enggak melulu puisilah. Nanti gantian sama
cerpen, novel...." Saiful menimpali.
"Ha ha ha!"
"Jangan lupa sesekali dikasih drama juga. Ha ha
ha!"
Rex sangat ramai. Aku melangkah masuk, sambil
menyebar pandang ke seluruh penjuru tempat
jajanan yang dengan kursi-kursi plastik dan dikeliling
warung-warung penjual makanan itu. Di antara
orang ramai itu, Bang Burhan melambai-lambai. Ia
sedang bersama seorang perempuan muda.
"Ini Muista Fahendra, mengaku pengrajin puisi,
bukan penyair. Ia sudah jadi orang Jakarta sejak dua
belas tahun lalu," katanya ketika memperkenalkanku
kepada perempuan itu. "Ini Linda."
Kami duduk. Tapi, mataku kembali menoleh ke
perempuan yang berumur 30-an itu. Wajahnya tidak
asing. Aku mencoba mengingat-ingat. Aku terlonjak.
Inilah perempuan yang dulu pernah kulihat digandeng
Bang Burhan ketika naik labi-labi jurusan Lhok Nga.
Setelah duduk sebentar, perempuan muda itu
mohon diri. "Maaf, saya harus pulang," katanya lalu
bangkit.
Bang Burhan mengantarnya sampai ke mobil
sedan yang parkir di depan Rex. Setelah mobil itu
menghilang ditelan malam, Bang Burhan kembali ke
tempat duduk kami.
"Pasti ini perempuan yang dulu Abang sering
jemput."
"Ha ha. Sudah kuduga, pasti kau ingat perempuan itu."
"Jelas ingat. Ia kan anak abang yang tinggal di
kampung."
"Ha ha ha!" Tawa Bang Burhan makin keras.
"Kalian mau saja kubodohi. Anakku semua tinggal di
Banda Aceh, tidak ada yang di kampung. Ha ha ha!"
"Lalu itu siapa?"
"Itu anak orang, ha ha ha!"
"Ha ha ha!"
Setelah tawa kami reda, Bang Burhan berkata
hati-hati. "Dia ditinggal suaminya yang menjadi korban
tsunami." Ia berhenti sejenak, diam, menarik nafas lalu
menghembuskan perlahan. "Aku mau kawin sama
dia," ia melanjutkan. "Aku sedang cari cara. Sebab,
keluarganya bilang ngapain kawin sama orang tua
bangka. Apakah aku memang sudah benar-benar tua?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Aku
ragu, apakah pertanyaan itu perlu kujawab? Tiba-
tiba aku tidak punya keberanian menjawabnya. Aku
mencoba diam, pura-pura lupa. Mataku memandang
lampu kendaraan yang lalu lalang di depan Rex,
berbaur dengan lampu toko-toko dan dua hotel
yang mengelilinginya. Lampu-lampu itu membentuk
lautan cahaya yang tak habis-habisnya.
"Fahendra, coba kau jawab dulu, apakah aku
memang benar-benar sudah tua, sehingga tidak
pantas kawin dengan perempuan itu?"
Aku ingin menjawab bahwa sesungguhnya
Bang Burhan sudah tua. Umurnya sudah 73 tahun.
Tapi mulutku sangat susah untuk bicara. Aku takut
melukai hatinya, hati seorang kawan yang kembali
jatuh cinta
0 komentar:
Posting Komentar